Ilmuwan Sebut Mutasi Tak Bikin Virus Corona Makin Berbahaya

Wujud asli virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19. Foto: National Institute of Allergy and Infectious Diseases via flickr (CC BY 2.0)

Saorakyat.comTim peneliti dari University College London (UCL) di Inggris menerbitkan hasil studinya terkait virus corona yang tengah mewabah di dunia. Risetnya mengungkap pola keragaman mutasi dalam genon SARS-CoV-2.

Virus adalah organisme hidup yang dapat beradaptasi dengan lingkungan melalui mutasi. Para ilmuwan telah mengawasi berbagai perubahan genetik yang telah terjadi pada strain COVID-19 yang telah diamati sejak Desember 2019. Mutasi ini tidak meningkatkan kemampuan patogen untuk menyebar ke orang lain.

Hal tersebut terungkap setelah para ahli genetika UCL menganalisis genom virus dari 150.000 pasien COVID-19 dari 75 negara. Mereka ingin membuktikan apakah virus yang telah bermutasi lebih mudah menginfeksi seseorang dibandingkan sebelum mutasi.

Riset ini menemukan, ada 6.822 mutasi virus corona jenis baru di seluruh dunia, termasuk 273 mutasi yang telah terjadi berulang kali. Peneliti hanya fokus pada 31 jenis mutasi yang setidaknya pernah terjadi 10 kali selama pandemi COVID-19.

Dengan membuat pohon evolusi dari mutasi dominan ini, peneliti ingin melihat apakah keturunan mereka akan lebih mengungguli versi virus yang tidak memiliki mutasi yang sama.

Baca Juga: Tiga Kasus Baru Positif di Toraja, Satu Wanita Mengandung Bayi Kembar

Peneliti tidak menemukan bukti bahwa mutasi yang umum bisa meningkatkan kemampuan virus untuk menyebar. Virus corona dilaporkan mampu bekerja dalam menginfeksi sebuah populasi.

Virus bahkan bisa beradaptasi dalam kondisi apa pun menyesuaikan dengan inangnya. Hanya saja, bermutasi tak selalu membantu proses itu.

Para peneliti sepakat mengatakan bahwa beberapa variasi gen yang umum bersifat netral, meski kebanyakan dari mereka juga bersifat merusak. Dibandingkan karena kebutuhan virus beradaptasi dengan inangnya, kebanyakan mutasi virus justru bergantung pada sistem kekebalan tubuh manusia.

Baca Juga: Lempeng Tektonik Raksasa di Samudra Hindia Bakal Terbelah Jadi Dua?

Peneliti juga menemukan bahwa mutasi tertentu dapat mempengaruhi protein spike pada virus corona. Dalam riset lainnya, mutasi itu disebut D614G, dengan kemampuan dapat meningkatkan penularan virus. Namun peneliti UCL menyanggah temuan itu dan menyebut bahwa D614G tidak terkait dengan penyebaran COVID-19.

READ  Sudah 590 Pasien Corona di RI Meninggal, Berikut Sebaran Wilayahnya

Temuan ini dapat menjadi titik terang baik bagi pejabat kesehatan yang menyusun strategi pertahanan untuk melawan virus corona, juba bagi para peneliti yang tengah mengembangkan vaksin dan obat-obatan untuk menangkal SARS-CoV-2. Yang bisa kita lakukan hanyalah berharap pandemi ini tiak menimbulkan bencana kesehatan yang lebih parah lagi sebelum obat dan vaksinnya benar-benar tersedia.

Riset ini telah dipublikasikan di jurnal bioRxiv, namun masih dalam bentuk pracetak dan belum diulas oleh peneliti lain alias peer review. Studi didasarkan pada penelitian peer-review yang diterbitkan di Infection, Genetics, dan Evolution pada awal bulan ini.

Wujud virus SARS-CoV-2 Virus coronaPartikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS

Virus corona yang menyebar begitu cepat menjadi momok bagi semua orang. Hanya dalam hitungan menit saja, seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2 dapat menularkannya kepada orang lain dengan masa inkubasi selama 14 hari hingga gejalanya muncul.

Setiap mereka yang terinfeksi tak selalu mengalami gejala yang serupa, bahkan ada beberapa yang menderita gejalanya hingga berbulan-bulan dan menganggapnya hanya flu biasa.
Tingkat kematian yang disebabkan virus corona jelas jauh lebih tinggi dari flu.

Semakin cepat virus membunuh inang, semakin kecil kemungkinan bagi inang untuk menularkan penyakit ke kontak mereka. Itu sebabnya “perataan kurva” sangat penting, dan mengapa beberapa bentuk jarak sosial masih diperlukan untuk menghindari gelombang kedua.

Semakin lama virus terkandung, semakin mudah untuk mengobati, berkat munculnya protokol baru, obat baru, dan kedatangan vaksin pertama.(*)

Artikel dari kumparan.com