Kepemimpinan Bupati Luwu, H. Patahudding patut ditelaah. Sebab mengabaikan sektor Pariwisata. Meski itu sudah ada uang rakyat di sana yang terbuang begitu saja Dapat dilihat pada visinya ‘Luwu Unggul, Berkarakter dan Berbasis Agribisnis dengan diikuti tujuh point misi yang sama sekali tak menyinggung sektor pariwisata. Sehingga terkesan pembangunan di Luwu tak menganut pembangunan sustainable (berkelanjutan) Tapi pembangunan berdasar selera pemimpin.
LUWU, SAORAKYAT–Kekinian objek wisata pantai Buntu Matabing, Kecamatan Larompong milik Dinas Pariwisata Kabupaten Luwu, cukup memprihatinkan.
Keindahan panorama alam pantai yang dilengkapi dengan ‘galampang’ itu bak kawasan peninggalan dan lokasi tak bertuan.
Sejumlah fasilitas, mulai dari galampang atau gasebo, pendopo dan deretan toilet tak terurus. Plafon galampang beberapa bagian sudah bolong.
Begitu juga fasilitas toilet. Bangunan permanen itu sudah berantakan. Pintu-pintu kamar kecil sudah tak karuan
Kemudian, melirik pendopo yang terdiri empat pendopo kecil dan satu pendopo berukuran besar. Sejumlah bagian sudah hancur tak terurus. Ada yang tertimpa pohon tumbang.
Belum lagi, sampah-sampah pelastik dan bekas botol minuman alkohol berserakan sekitar. Rumput ilalang dan kayu tumbuh subur di sekitar menambah pandangan kawasan tak bertuan ala-ala horor.

Sementara di tepian pantai, hutan bakau tumbuh subur alami menampakan wajah alam pantai yang indah walau tak terurus.
Sebelum masuk kawasan pantai Buntu Matabing, dari arah Dusun Batulotong, Desa Rantebelu, talud pantai sudah ambruk. Bahkan jalan aspal yang dibangun dari uang rakyat juga ikut ambruk.
Lalu memutari jalan arah Desa Buntu Batabing. Tepatnya di sungai ‘Bubung Tompo’ yang dikenal (sumur jodoh) sudah tak terlihat. Rumput liar ditengah-tengah hutan bakau menutupi pandangan sumur misterius itu.
Sumur yang dikenal banyak menyimpan cerita mistis itu, karena walau berada di tepian pantai, tapi airnya tetap tawar. Bahkan jika pasang air laut, sumur yang sekira tinggi satu meter itu bercampur air laut. Sebuah keajaiban alam yang ditelantarkan.

Alam sudah memberi anugerah terindah bagi manusia dan lingkungannya. Tapi sayang, dibalik keunikannya tak terurus. Padahal, bagian dari keunikan sumur itu bisa menjadi sumber PAD.
Pagar dari besi di sekitar sumur mistis itu juga sudah termakan usia. beberapa bagian sudah nyaris rubuh.
Meski tak terurus, sore hari masih terlihat beberapa anak-anak remaja menjadikan kawasan terlantar itu tujuan mengisi waktu jelang petang.
Fasilitas jalan rabat beton di kawasan itu menjadi bagian yang masih bisa dinikmati untuk parkir kendaraan sambil menikmati panorama alam pantai. Di sela rimbunan pepohonan hutan bakau, menambah khas pantai seakan mata tak berkedip sejauh mata memandang.

Kondisi demikian, objek wisata alam pantai yang sudah ditata dari uang rakyat terabaikan begitu saja. Padahal semasa kepemimpinan Bupati Luwu, H.Basmin Mattayang, kawasan ini menjadi sumber PAD. Bahkan Dinas Pariwisata Luwu menjadikan salah satu kawasan primadona kala itu.
Sebuah pertanyaan kritis lahir. Apakah pergantian kepemimpinan suatu daerah berdasar atas selera? Lalu, apa pergantian seorang Kepala Dinas Pariwisata juga berdampak pada asset potensial itu dibiarkan terlantar?
Sejatinya pembangunan itu bersifat sustainable (berkelanjutan). Bukan berdasar selera pemimpin dan selera kepala dinas. Karena di situ ada uang rakyat yang terbuang begitu saja tanpa hasil.
Jika demikian, maka tepat suatu pembangunan itu bukan orientasi jangka panjang, tapi semata proyeknisasi. Tepat pula, bahwa pembangunan, khususnya di Luwu berdasar selera individu pemimpin.
Seiring dengan itu, pejabat-pejabat daerah juga hanya berkerja berdasar selera penguasa. Bukan dengan orientasi jangka panjang yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Para pejabat berjalan tanpa progres, tapi berjalan berdasar kesenangan pemimpinnya
Dengan begitu, melihat visi misi Bupati Luwu saat ini ‘Luwu Unggul, Berkarakter dan Berbasis Agribisnis” maka sejatinya Dinas Pariwisata Luwu dimerger. Karena hanya pemborosan anggaran untuk tunjangan eselon. Sementara tak mampu untuk memanfaatkan kekayaan alam yang potensial. Pula pariwisata tidak tidak tertuang dalam visi dan misi pemimpin Luwu saat ini.

Terlepas dari itu, kontrol pemerintahan oleh wakil rakyat juga tak terlihat. Membiarkan asset daerah yang potensial terabaikan. Ataukah di sana tak ada pokok pikiran dalam bentuk proyeknisasi. Sehingga mata mereka tak tertuju.
Dari visi misi Bupati Luwu, H. Patahudding, maka sangat wajar objek wisata terabaikan. Sebab dari visi itu yang dirumuskan ke dalam tujuh misi, tak tertulis point tentang pariwisata.
Maka lagi-lagi, orientasi pembangunan hanya berdasar selera. Meski pun visi dan misi itu tertuju pada sektor pertanian, kekinian belum tergambar. Justru terfokus pada sektor pertambangan dengan dibentuknya tim percepatan investasi. Padahal untuk terwujudnya visi itu sejatinya tim percepatan Agribisnis
Arah kebijakan pembangunan Luwu sangat bergantung pada kontrol 35 wakil rakyat di DPRD Luwu. Sayang, perjalanan hingga saat ini, terlihat hanya sekadar tukang stempel dan saksi gunting pita. Sejatinya mengarahkan pemerintah pada jalur visi dan misi. Maka sewajarnya jika wakil rakyat Luwu ini hanya mewakili dirinya sendiri. Bukan mewakili rakyat. Sebab terlihat keluar dari tugas dan fungsinya, sebagai kontrol, legislasi dan anggaran. (Redaksi)




