Pekerja tambang di Sulawesi. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
JAKARTA, Saorakyat.com–Kontroversi mengiringi rencana kedatangan 500 TKA China ke Sulawesi yang kini mendekati hari H. Pro dan kontra soal ini bukan barang baru. Ia sudah mengemuka sejak April 2020, lalu memudar, dan kembali mencuat ketika pemerintah memastikan para tenaga kerja asing tersebut akan mulai tiba pada awal Juli.
Sejumlah kekhawatiran lagi-lagi timbul. Pertama, pandemi corona belumlah usai. Kedua, kenapa harus mengambil tenaga kerja asing—dan asal China?
“Kenapa harus impor TKA sementara kita memiliki banyak sumber daya manusia… tenaga kerja lokal…,” kata politisi PKS Kurniasih Mufidayati, awal Mei.
“Masuknya tenaga asing—500 orang—di tengah banyaknya PHK terhadap pekerja kita tentu terasa tidak adil,” ujar politisi Demokrat Herman Khaeron, bersepakat.
“Bupati saja melarang masuk warga dari luar kabupaten meski masih satu provinsi, lah ini dari negara lain. … (Dan) di Sulawesi Tenggara ribuan pekerja dirumahkan, di-PHK, tapi kok pekerja asing diizinkan masuk,” kata Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tenggara, Muh. Endang SA, akhir April lalu.
Baca Juga: KPK Ungkap Lima Daerah Tertinggi Kasus ASN Tak Netral dalam Pilkada
Akhir Juni ini, setelah tertunda dua bulan, para TKA China yang memicu polemik itu mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tak kurang dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang memastikan kedatangan mereka.
“Mereka datang 500 orang untuk (membuka lapangan pekerjaan) bagi 5.000 orang (tenaga kerja lokal). … Enggak mungkin kami jual republik ini,” tandas Luhut, Minggu (28/6).
Kenapa harus TKA China?
Jawabannya bisa sederhana: karena perusahaan yang mendatangkan mereka, PT Virtue Dragon Nickel Industry, berasal dari Tiongkok, dengan teknologi pengolahan nikel yang juga berasal dari China.
PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang beroperasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, ialah perusahaan tambang sekaligus pemain penting dalam industri nikel di Indonesia.
PT VDNI, dengan suntikan awal dari China First Heavy Industries—perusahaan milik pemerintah China—menggelontorkan dana US$ 6 miliar atau Rp 86 triliun untuk berinvestasi di Konawe. Ia menguasai 2.253 hektare lahan di kabupaten itu, dan berambisi membangun smelter—pabrik peleburan bijih tambang—terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Diharap Kepala Daerah Segera Cairkan Anggaran Kesehatan
Indonesia sendiri merupakan negara pengekspor nikel terbesar di dunia yang menguasai 20 persen lebih dari total ekspor nikel dunia. Indonesia juga salah satu pemilik cadangan bijih nikel terbesar di dunia.
Di Sulawesi, penambangan nikel telah dimulai sejak 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dan kenapa nikel penting? Karena ia jenis logam yang kerap disebut sebagai “the mother of industry” atau tulang punggung bagi berbagai industri lain seperti otomotif, konstruksi, baterai, sampai pembuatan baja antikarat (stainless steel).
Perburuan Nikel Para Naga
Presiden Direktur Virtue Dragon Nickel Industry, Andrew Zhu Mingdong, baru berumur 27 tahun ketika tiba di Indonesia pada 2014. Usia yang amat muda untuk menduduki pucuk jabatan di perusahaan tambang ambisius.
PT Virtue Dragon Nickel Industry ialah cabang perusahaan Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd., produsen logam China yang didirikan Dai Guofang, mertua Zhu—pengusaha baja kawakan di China yang pernah dipenjara akibat penggelapan pajak dan pembelian tanah ilegal, yang menurut Zhu lebih karena permainan politik.
Baca Juga: Fahri Hamzah: Amarah Jokowi ke Menteri, Presiden Tak Boleh Mengeluh atau Putus Asa
Meski sempat dibui, kiprah Dai Guofang di industri nikel dan baja tak redup. Setelah bebas, ia mendirikan Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd. pada 2010 dan menggaet menantunya, Andrew Zhu, untuk mengamankan bisnis perusahaan di Indonesia.
Desember 2016, kepada Nikkei Asian Review di Jakarta, Zhu membeberkan targetnya untuk mencapai kapasitas produksi nickel pig iron 600.000 ton di Indonesia pada akhir 2017.
Nickel pig iron (NPI) ialah feronikel (campuran besi dan nikel) berkadar rendah sebagai alternatif lebih murah dari feronikel berkadar tinggi yang biasa digunakan dalam pembuatan stainless steel. NPI pertama kali diproduksi di China pada 2005.
Untuk memproduksi NPI, China mengimpor bijih nikel dalam jumlah besar dari Indonesia. Masalah kemudian muncul pada 2014 ketika Indonesia melarang ekspor bijih mentah kecuali perusahaan terkait bersedia mengolah tambang dalam jumlah tertentu di Indonesia—dan dengan demikian membangun industri manufaktur di dalam negeri.
98 persen nikel ore Indonesia diekspor ke Tiongkok. Kalau (ekspornya) dilarang, yang rugi siapa? Logikanya simpel: dia (importir) harus relokasi (industri pengolahan nikel) ke sini.
– Luhut Binsar Pandjaitan, 2019
Larangan ekspor bijih tambang itulah yang membuat Andrew Zhu datang ke Jakarta dengan tergesa-gesa, sebab kebijakan tersebut mengancam keberlangsungan impor nikel oleh Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd., perusahaan keluarganya.
Maka, untuk memenuhi syarat yang diberikan pemerintah RI—mengolah tambang dalam jumlah tertentu di Indonesia—Delong mendirikan anak usaha di Indonesia di bawah bendera Virtue Dragon Nickel Industry dan membangun pabrik pengolahan bijih tambang besar di Konawe.
Andrew Zhu, Presiden Direktur PT Virtue Dragon Nickel Industry. Foto: Linkedin/Andrew Zhu
Masih dalam wawancara dengan Nikkei Asian Review, Zhu juga menyinggung rencana perusahaannya menyaingi Tsingshan Holding Group Co., Ltd.—sesama produsen stainless steel asal China—yang berniat memproduksi 900.000 ton NPI pada 2017.
“Kami (Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd. dan Tsingshan Holding Group Co., Ltd.) adalah dua pemain besar di pasar nikel China,” kata Zhu.
Delong—atau Virtue Dragon—dan Tsingshan sama-sama membangun smelter di Sulawesi. Virtue Dragon menempati Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara, sementara Tsingshan menempati Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah.
Dua perusahaan China itu juga pemain utama dalam industri nikel di Indonesia. Mereka pula yang mendominasi proyek pembangunan smelter nikel di tanah air.
Proyek smelter, pabrik baja, dan berbagai sarana penunjangnya di Konawe diperkirakan melibatkan 1.000 tenaga kerja Indonesia dan 2.000–3.000 tenaga kerja China. Menurut Zhu, perusahaannya akan mengurangi jumlah pekerja China secara bertahap.
“Ini kan teknologinya dari China. Untuk setiap tenaga ahli dari China, ada 7-8 tenaga kerja lokal yang mendampingi. Jadi ada alih teknologi. Lalu putra-putra terbaik Sulawesi dikirim ke Tiongkok untuk belajar. Periode pertama, 2018-2019, sudah berangkat 125 orang (pekerja lokal) ke Tiongkok, pulangnya jadi teknisi senior,” kata External Affairs Manager PT VDNI, Indrayanto, Senin (29/6).
Kami akan membangun smelter hingga 2020 dengan total kapasitas produksi 3 juta ton per tahun. Kami juga akan membangun pembangkit tenaga listrik dan pelabuhan sendiri.
— Andrew Zhu, Presdir Virtue Dragon Nickel Industry, pada 2015
Di Sulawesi, naga-naga Tiongkok itu mengepakkan sayap.
Ilustrasi tambang nikel, Sorowako, Sulawesi
Tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Sayap Naga di Celebes
Di masa pandemi corona ini, Virtue Dragon ikut menebar bantuan di Sulawesi. Naga nikel itu memasok 500.000 masker, 2.000 alat pelindung diri, dan 9.500 rapid test kit ke Pemprov Sulawesi Tenggara. Dan itu belum semua.
“Ini bentuk kepedulian kami kepada masyarakat Sultra selaku perusahaan yang berinvestasi,” kata Indrayanto.
Investasi Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd., induk usaha PT Virtue Dragon Nickel Industry, bermula dari lawatan Presiden Jokowi ke Tiongkok dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Hangzhou, 4–5 September 2016.
“Komitmen Jokowi memangkas jalur birokrasi dan pengurusan izin telah menumbuhkan harapan besar bagi pengusaha Tiongkok. Mereka sangat antusias meningkatkan investasi di Indonesia,” kata Ketua Umum
Baca Juga: Ancaman Reshuffle Dinilai Ajang Jokowi Cari Kambing Hitam dan Basa Basi
Kadin Rosan Roeslani yang ketika itu ikut mendampingi Jokowi, seperti dikutip dari Investor Daily.
Pada 2014, tahun ketika Andrew Zhu datang ke Indonesia, PT VDNI masuk ke Konawe. Ia perusahaan tambang pertama yang merambah Konawe dan mengubah wilayah itu.
Konawe kini tumbuh menjadi kota dagang dan kesohor karena industri nikelnya. Sampai-sampai putra bupati setempat melamar perempuan—yang juga putri seorang bupati di Sulawesi—dengan mahar berupa lahan 12,5 hektare berisi kandungan nikel.
Berkat kehadiran Virtue Dragon di Konawe, kata Airlangga Hartarto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian, Indonesia bisa menjadi salah satu negara penghasil stainless steel terbesar di dunia pada 2020. “Setelah perampungan pabrik dan alat produksi di wilayah ini,” ujarnya saat meresmikan smelter milik PT VDNI di Konawe pada Februari 2019.
Virtue Dragon kemudian mendirikan anak-anak usaha di bumi Celebes. Beberapa di antaranya PT Obsidian Stainless Steel yang mengolah feronikel menjadi stainless steel dan PT Pelabuhan Muara Sampara yang mengelola aktivitas bongkar muat di dermaga kawasan industri—dan sempat bermasalah karena diduga mengeruk pasir laut tanpa izin reklamasi.
Bukan hanya PT Muara Sampara yang tersandung bermasalah, tapi juga PT Obsidian Stainless Steel. Juli 2019, Kompas.com melansir tim penyidik Polda Sulawesi Tenggara dan Mabes Polri menyegel seratusan alat berat PT OSS atas dugaan penambangan di kawasan hutan produksi tanpa mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. PT OSS kemudian menegaskan mendukung penyidikan aparat sambil melakukan penyelidikan internal.
Seperti biasa, selalu ada dua sisi mata uang dari semua hal. (**)
Jika (Jiangsu Delong Nickel Co., Ltd.) ingin berkembang, kami harus melakukannya di Indonesia—dekat dengan bahan baku.
— Andrew Zhu, Presiden Direktur Virtue Dragon Nickel Industry
Artikel dari Kumparan.com