JAKARTA, SAORAKYAT–Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan melanjutkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Palopo ke tahap pembuktian. Sidang putusan sela ini digelar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025)
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan, perkara Nomor 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025 atas Pilkada Wali Kota Palopo, dan perkara 327/PHPU.BUP-XXIII/2025 atas Pilkada Bupati Mahakam Hulu, dinyatakan layak untuk dilanjutkan ke sidang lanjutan dengan agenda pembuktian.
“Dengan adanya pengucapan satu putusan tadi, berarti perkara lain, yaitu perkara 326 untuk Wali Kota Palopo serta 327 untuk Bupati Mahakam Hulu akan dilanjutkan ke sidang pemeriksaan lanjutan,” kata Saldi Isra saat membacakan putusan, yang disiarkan melalui kanal YouTube MK.
Sidang pembuktian berikutnya, akan menghadirkan saksi-saksi, ahli, serta para pihak yang terlibat langsung dalam sengketa tersebut.
Permohonan sengketa Pilkada Palopo ini diajukan oleh pasangan calon nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso – Andi Tenri Karta (RMB-ATK).
Pasangan RMB-ATK persoalkan dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan pasangan calon nomor urut 4, Naili Tahir – Akhmad Syarifudin (Naili-Ome).Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah status hukum Ome yang disebut sebagai mantan narapidana.
RMB-ATK mendalilkan, status hukum tersebut tidak dipublikasikan secara terbuka melalui media massa. Pada saat pendaftaran pencalonan seperti yang dipersyaratkan. Publikasi baru dilakukan setelah rekomendasi dari Bawaslu Kota Palopo keluar.
Tak hanya itu, mereka juga mempersoalkan dokumen SPT Pajak atas nama Naili Tahir. Dalam dokumen pencalonan, SPT yang digunakan bertanggal 25 Februari 2025, sementara SPT terakhir yang tercatat di sistem pajak adalah 6 Maret 2024.
Hal tersebut dalam gugatannya, dinilai sebagai bentuk ketidaksesuaian dan bisa mengarah pada pemalsuan atau manipulasi dokumen administratif.
Meski demikian, posisi hukum RMB-ATK untuk mengajukan gugatan juga mendapat sorotan.
Majelis menyampaikan, dalil perselisihan hasil dari RMB-ATK tidak memenuhi ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Pemilihan.
Pasal tersebut mengatur, pasangan calon yang boleh menggugat hasil pilkada adalah yang memperoleh selisih suara maksimal 2 persen dari pemenang. Sementara berdasarkan data, perolehan suara RMB-ATK tidak memenuhi syarat tersebut.
Meski begitu, karena fokus gugatan RMB-ATK adalah dugaan pelanggaran administrasi pencalonan, MK tetap melanjutkan perkara ini ke tahap pembuktian.
Diketahui public, Pilkada Palopo penuh drama politik. Selain kedua kalinya masuk ke MK, juga pemberhentian tiga orang komisioner Palopo oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiu (DKKP).
Ketiga komisioner itu terbukti oleh siding DKKP melakukan pelanggaran kode etik. Hal ini lantaran meloloskan Pasangan No 4 Trisal Tahir yang seharunsya tidak memenuhi syarat (TMS). Salah satu syarat itu adalah ijazah Trisal Tahir tidak diakui keabsahannya.
Hingga berujung ke MK pada hasil putaran pertama Pilkada Palopo. MK mendiskualifikasi Trisal Tahir atas ijazah yang digunakan tidak sah. Akhirnya Pilkada Palopo dilakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU).
Sengketa Pilkada Palopo bukan kali ini saja masuk ke meja MK. Sebelumnya, MK mengeluarkan putusan Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 atas gugatan dari paslon nomor urut 2, Farid Kasim – Nurhaenih.
Dalam gugatan tersebut, mereka mempersoalkan pencalonan Trisal Tahir, yang kemudian terbukti menggunakan ijazah yang tidak resmi atau tidak terdaftar di Dinas Pendidikan.
Atas putusan tersebut, MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Trisal Tahir. PSU pun digelar pada 24 Mei 2025.
Hasil PSU bukannya menghasilkan pemimpin, tapi justru memunculkan konflik baru. Tapi lagi-lagi, pasangan No 4 kembali disengketakan yang kini kembali ke MK.
Keputusan MK untuk melanjutkan perkara ini menunjukkan masih ada ruang keadilan bagi masyarakat dan para kontestan politik lokal. Sekaligus, menunjukan adanya celah bagi penyelenggara pemilihan tidak professional.
Palopo menjadi contoh bagaimana dinamika politik lokal bisa sangat kompleks. Bahkan harus dua kali bertarung dalam satu periode pilkada.
Tahapan pembuktian menjadi krusial, karena di sinilah kebenaran diuji, baik dari sisi hukum maupun etika demokrasi.
Masyarakat pun menanti. Apakah PSU benar-benar membawa penyelesaian, atau justru membuka babak baru konflik berkepanjangan?
Yang pasti, proses ini akan menjadi pembelajaran penting bagi para calon kepala daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat, demokrasi bukan sekadar soal menang-kalah, tapi juga soal kejujuran, transparansi, dan integritas.(*)