JAKARTA, SAORAKYAT— Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Wamenko Polkam), Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan pihaknya mengawasi kepala daerah yang menerapkan kebijakan serupa dengan yang hendak diterapkan Bupati Pati, Sudewo, dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, Presiden Prabowo Subianto juga telah mengingatkan agar kepala daerah berhati-hati dalam membuat kebijakan.
Pasalnya, keputusan yang tidak tepat dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
“Ini kan sebenarnya sudah diingatkan oleh Presiden sendiri. Jangan mengambil kebijakan yang membuat gaduh. Tentunya itu kita sangat sayangkan terjadi itu,” sebut politikus Partai Golkar itu.
Menurut Lodewijk, penyelesaian polemik di Pati kini berada di tangan DPRD.
Ia menyebut, legislatif daerah tersebut telah menyepakati pembentukan hak angket untuk mengusut persoalan kenaikan pajak.
“Kewenangan itu ada di DPRD. Untuk bagaimana tindak lanjutnya. Yang saya monitor mereka sudah sepakat membentuk hak angket. Dan kita lihat kelanjutannya seperti apa,” pungkasnya.
Adapun demonstrasi besar di Pati, Rabu (13/8/2025), dipicu oleh kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Demonstrasi tersebut dinilai merupakan aksi alamiah warga tanpa rekayasa elite politik.
Baca juga :
Gejolak Kenaikan Pajak Mencuat di Sulsel
‘Tabola Bale’ Bikin Istana Merdeka Berpesta
“Aksi itu sangat khas arus bawah banget, tidak mungkin ada elite yang menggerakkan rakyat dengan cara seperti ini,” kata pakar otonomi daerah Profesor Djohermansyah Djohan mengutip Kompas.com, Rabu (13/8/2025).
Sifat-sifat aksi massa khas arus bawah dinilainya terlihat pada aksi massa yang spontan merespons isu publik, yakni kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) 250 persen, beleid yang kemudian dibatalkan oleh Sudewo.
“Sifatnya sukarela, spontan, dan dalam bereaksi dalam waktu yang pendek, warga mengumpulkan dukungan lewat bahan-bahan makanan, ada yang menyumbang hasil bumi,” ujar Djohermansyah.
Kenaikan PBB ini yang berdampak terjadinya kegaduhan sosial juga terjadi di dua kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel), yakni Kabupaten Bone dan Jeneponto. Bahkan di Bone massa sudah melakukan aksi protes di Gedung DPRD Bone.
Di Kabupaten Bone, aksi penolakan kenaikan pajak berlangsung di depan Kantor DPRD Bone beberapa hari lalu. Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama warga awalnya menggelar demonstrasi dengan tertib. Namun, situasi berubah memanas ketika aspirasi mereka dianggap tidak ditanggapi serius.
Kekecewaan massa akhirnya memicu upaya untuk masuk ke dalam gedung DPRD Bone. Bentrokan pun tak terhindarkan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang berjaga di lokasi. Suasana ricuh itu menjadi bukti nyata tingginya keresahan masyarakat atas kebijakan yang dinilai membebani.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinong, menegaskan kenaikan pajak masih dalam tahap pembahasan. Ia menilai kebijakan itu tidak memenuhi asas legalitas penetapan. Sehingga DPRD berkomitmen untuk mengawal pembatalan rencana tersebut.
Sementara itu, Kepala Bapenda Bone, Muh Angkasa, mengklaim pihaknya sudah melakukan sosialisasi, meski diakuinya belum berjalan masif. Pernyataan ini sekaligus membantah tudingan kebijakan kenaikan pajak dilakukan tanpa informasi yang jelas ke masyarakat.
Tidak hanya di Bone, keresahan serupa juga muncul di Kabupaten Jeneponto. Kenaikan pajak terungkap setelah anggota DPRD Jeneponto, H Aripuddin, mengaku tagihan PBB-P2 miliknya melonjak tajam. Dari sebelumnya Rp300 ribu, kini naik menjadi Rp1,5 juta. Objek pajak tersebut berupa tanah dan bangunan berukuran 5×20 meter di depan Bank BRI, Jalan Pahlawan, Kecamatan Binamu. Lonjakan hingga lima kali lipat itu dianggap memberatkan, apalagi terjadi tanpa penjelasan detail kepada wajib pajak.
Dampak dari gejolak ini, DPRD Jeneponto berencana segera memanggil Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jeneponto untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP). Langkah ini diharapkan bisa menjadi ruang klarifikasi sekaligus mencari solusi agar kebijakan pajak tidak semakin memicu kegelisahan publik. (*)