Prof DR Jimly Asshiddiqie, SH Pakar Hukum Tata Negara
JAKARTA, SAORAKYAT – Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie, menyoroti akar masalah dari pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu.
Menurutnya, pelanggaran tersebut kerap kali terjadi bukan karena inisiatif penyelenggara sendiri. Tetapi
dipicu hawa nafsu peserta pemilu yang ingin menang dengan segala cara.
“Dalam setiap hampir semua kasus, pelanggaran etika dari penyelenggara ini gara-gara hawa nafsunya pesertal,” ujar Jimly dalam diskusi daring yang digelar DKPP, Rabu (11/6/2025).
Jimly menilai peserta pemilu sering menjadi aktor utama yang mendorong penyelenggara untuk menyimpang dari prinsip etik.
Tekanan dari peserta kata dia, untuk memenangkan kontestasi membuat integritas penyelenggara terganggu.
“Tidak adil kalau penyelenggara diberi sanksi, pesertanya dibiarkan saja,” tandas pria kelahiran Palembang ini.
Pakar hukum tata negara ini, mendorong agar kewenangan DKPP diperluas untuk mengawasi dan menindak pelanggaran etik oleh peserta pemilu, bukan hanya penyelenggara.
Dirinya bahkan mengusulkan perubahan kepanjangan nama lembaga tersebut, dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu
“Idealnya ini harus resmi masuk jadi public policy di undang-undang,” ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menegaskan pentingnya membedakan antara penanganan etik dan penanganan hukum.
Jika sanksi hukum bersifat membalas kesalahan, maka sanksi etik bersifat memulihkan martabat dan kepercayaan publik.
“Usulan perluasan wewenang ini mungkin menuai kontroversi, tapi yakin publik akan menerima jika tujuannya adalah menjaga integritas pemilu secara menyeluruh,”tutup Jimly(*)