Potret pulau Kakabia dari Google.-ist-
-
Sulsel Ajukan Gugatan, Sultra Tunjukkan Dokumen UU dan Sejarah
-
Bupati Selayar Tegaskan Kakabia Tetap Milik Sulsel
-
Saling Klaim Tanpa Solusi
SULSEL, SAORAKYAT- Perebutan wilayah antar provinsi kembali menjadi sorotan publik. Kini, perhatian tertuju pada sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Kedua daerah sama-sama mengklaim keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratif mereka.
Namun, kasus seperti ini bukan hal baru. Jauh sebelum sengketa Aceh-Sumut mencuat, dua provinsi di kawasan timur Indonesia juga sempat terlibat konflik serupa.
Kekinian, menurut Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyebut Presiden Prabowo Subianto akan membuat keputusan terkait polemik pemindahan kepemilikan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) pada pekan depan.
“Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” ujar Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
Dasco menjelaskan, Prabowo memutuskan untuk mengambil alih persoalan itu setelah berkomunikasi dengan DPR. Maka dari itu, kata dia, Prabowo segera memutuskan langkah terbaik untuk menyelesaikan sengketa pulau tersebut.
Lalu, bagaimana dengan sengketa Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tenggara (Sultra)?
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah sejak lama memperdebatkan status kepemilikan Pulau Kakabia atau yang dikenal juga dengan nama Kawi Kawia.
Pulau kecil yang tidak berpenghuni ini terletak di bagian selatan Sulawesi. Di sana tidak ada potensi tambang nikel atau gas.
Uniknya adalah pulau ini menjadi rumah bagi kawanan burung langka berwarna hitam-putih yang kerap terlihat berkerumun setiap pagi dan sore hari. Berpotensi pula dikembangkan sebagai daerah ekowisata.
Sulsel Ajukan Gugatan, Sultra Tunjukkan Dokumen UU dan Sejarah
Perebutan Pulau Kakabia mulai mencuat ke permukaan pada tahun 2018, ketika Kabupaten Kepulauan Selayar di bawah Provinsi Sulsel mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini ditujukan terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sultra
Selayar mengklaim bahwa Pulau Kakabia secara administratif merupakan bagian dari wilayah mereka berdasarkan Permendagri Nomor 45 Tahun 2011.
Klaim tersebut juga diperkuat dengan fakta bahwa sejak 1971 sudah ada pembangunan tugu di Pulau Kakabia yang menandai wilayah administratif Kepulauan Selayar.
Bahkan, menurut catatan sejarah dari peneliti Belanda Van Der Stock pada 1866, wilayah tersebut dikenal sebagai “Salayara” oleh masyarakat setempat.
Kemudian, muncul Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022. Keputusan ini secara eksplisit mencantumkan Pulau Kakabia (Kawi Kawia) sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar dengan kode 73.01.40123. Hal tersebut membuat Pemerintah Kabupaten Buton Selatan meradang
Pemkab Buton Selatan juga bersikukuh, Pulau Kakabia masuk dalam wilayahnya sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014.
Sengketa ini kemudian menimbulkan ketidakjelasan batas wilayah antara kedua kabupaten dan dikhawatirkan mengganggu pelayanan publik serta pembangunan di wilayah terkait.
Setelah Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 terbit, Gubernur Sultra, saat itu, Ali Mazi, turut mengambil sikap tegas dalam memperjuangkan klaim provinsinya atas Pulau Kawi Kawia.
Pada April 2022, Ali bahkan mendatangi langsung Komisi II DPR RI untuk menyampaikan keberatan dan meminta peninjauan ulang terhadap Permendagri Nomor 45 Tahun 2011.
Menurutnya, Permendagri tersebut bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi yaitu UU 16/2014.
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review yang diajukan Bupati dan Ketua DPRD Kepulauan Selayar.
Putusan MK Nomor 24/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima dan putusan tersebut bersifat final serta mengikat.
Mahkamah Konstitusi menolak mengadili permohonan tersebut karena Basli Ali sebagai Pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk ajukan permohonan.
Sehingga demikian, Pemerintah Provinsi Sulsel tetap mengacu pada Keputusan Mendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 yang mencantumkan Pulau Kakabia sebagai bagian dari Kabupaten Kepulauan Selayar.
Keputusan ini menjadi dasar hukum baru yang kembali menguatkan klaim Sulsel. Namun, Pemprov Sultra tegas menyatakan keberatan.
Sejak 2015 hingga 2022, mereka telah mengirim lima surat resmi ke Kemendagri sebagai bentuk protes dan permohonan audiensi terkait status pulau tersebut.
Surat-surat tersebut antara lain: Surat No. 135/2036 (Mei 2015), No. 135/990 (Februari 2016), No. 135/1991 (Mei 2021), No. 019.3/895 (Februari 2022), dan No. 136/1381 (Maret 2022). Sayangnya, semua surat itu tak kunjung mendapat respon.
Alasan kedua yang disampaikan Gubernur Ali Mazi adalah keberadaan dokumen resmi yang memperkuat klaim Sultra.
Salah satunya adalah peta lampiran UU 16/2014 serta fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Pulau Kawi Kawia dulunya merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Buton.
Bupati Selayar Tegaskan Kakabia Tetap Milik Sulsel
Pada awal Mei 2025, Bupati Kepulauan Selayar, Muhammad Natsir Ali mendatangi Pulau Kakabia langsung.
Ia mengaku kedatangannya ke pulau itu sebagai bentuk penegasan bahwa pulau terluar tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulsel.
Pulau Kakabia merupakan salah satu pulau terluar yang berada di Kecamatan Pasilambena, Selayar.
Letaknya yang berbatasan langsung dengan perairan Sultra menjadikan pulau ini jadi titik rawan klaim wilayah.
Namun, pemerintah daerah memastikan bahwa keberadaan Pulau Kakabia telah diatur secara hukum sebagai wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar.
“Pulau ini adalah bagian sah dari Selayar, Sulsel. Kami memiliki dasar hukum yang kuat, termasuk keputusan Kemendagri yang jelas menetapkan Pulau Kakabia di bawah administrasi Selayar,” tegas Natsir Ali.
Penegasan tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Penegasan Batas Daerah, yang menyebut Pulau Kakabia sebagai bagian dari Kabupaten Kepulauan Selayar, bukan Pemerintah Kabupaten Buton Selatan, Sultra
Di lokasi, masih berdiri sebuah tugu bertanda lambang Pemerintah Kabupaten Buton Selatan.
Menurut Natsir, keberadaan tugu tersebut tidak mengubah status hukum Pulau Kakabia.
“Keberadaan tugu Buton Selatan di sini tidak mengubah status hukum pulau ini. Kami akan segera membangun penanda baru yang lebih permanen,” ujar Natsir.
Pembangunan tugu baru ini, lanjut dia, akan menjadi simbol kedaulatan sekaligus penegasan identitas Pulau Kakabia sebagai bagian integral dari Selayar.
Tak hanya itu, Pemkab Selayar juga merencanakan pembangunan infrastruktur pendukung, termasuk dermaga, guna memperkuat konektivitas ke pulau tersebut.
“Pulau ini memiliki potensi wisata yang luar biasa, terutama sebagai habitat ribuan burung. Begitu menginjakkan kaki di sini, pengunjung akan disambut oleh kicauan burung-burung yang hidup alami. Ke depannya, kami ingin menjadikan pulau ini sebagai destinasi ekowisata,” papar Natsir.
Dengan luas daratan yang tidak terlalu besar dan tanpa penduduk tetap, Pulau Kakabia selama ini masih tergolong sebagai pulau liar.
Meski demikian, secara administratif dan strategis, pulau ini memiliki nilai penting, baik dalam konteks pertahanan wilayah maupun dalam pengembangan sektor pariwisata berbasis konservasi.
Kabupaten Kepulauan Selayar sendiri terdiri atas 130 pulau dengan 26 pulau berpenghuni dan 104 lainnya tidak berpenghuni.
Pulau Kakabia termasuk salah satu dari pulau-pulau tak berpenghuni tersebut. Namun, menempati posisi strategis karena lokasinya yang berada di perbatasan antar provinsi.
Saling Klaim Tanpa Solusi
Hingga kini, tak ada solusi pasti dari Kemendagri soal konflik perbatasan di kepulauan.
Kedua pihak sama-sama saling klaim, sementara pemerintah pusat terkesan pasif dan belum mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan sengketa secara final.
Ketidakjelasan ini tidak hanya menimbulkan ketegangan administratif, tapi juga berpotensi menghambat pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, hingga pemanfaatan potensi ekonomi di wilayah yang disengketakan.
Konflik serupa di Aceh dan Sumatera Utara pun berpotensi memicu ketegangan antarwilayah jika tak segera diselesaikan.
Padahal, dalam konteks otonomi daerah dan pelayanan publik, kejelasan batas wilayah adalah fondasi penting bagi tata kelola pemerintahan yang harmonis dan berdaya guna.(*)